KETIKA LGBT DIBENCI LEBIH DARI YAHUDI [Catatan Gender 2016]

j

Menulis refleksi akhir tahun mengenai LGBT Indonesia mengantarkan saya pada ingatan dan sejarah bagaimana Indonesia terang-terangan menunjukkan taring intoleransi dan keganasannya pada kelompok yang bahkan lebih dibenci dibandingkan Yahudi, dan hanya satu tingkat di bawah ISIS: yaitu lesbian, gay, biseksual, dan transgender/LGBT (hasil survei Lembaga Survei Indonesia dan Wahid Institute).

Pada awal tahun ini, organisasi kecil tingkat kampus yang saya dirikan dan saya banggakan, SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies), sebuah lembaga kajian seksualitas dan gender, dalam waktu beberapa hari menjadi ancaman yang lebih berbahaya dari perang nuklir. Setelahnya, ancaman dan berbagai bentuk kekerasan silih berganti, bukan hanya dari teman, keluarga, aparat dan instansi pendidikan, namun juga dari instansi pemerintahan kita yang terang-terangan menolak keberadaan LGBT dengan komentar-komentar yang tidak masuk akal, selain tentu tidak manusiawi.

Sulit bagi saya untuk benar-benar memahami bagaimana institusi negara yang seharusnya melindungi warganya justru terang-terangan mengajukan penolakan dan ancaman kepada sesuatu yang bahkan mereka tidak pahami, dengan berlandaskan kebencian buta?

Pada waktu-waktu itu, saya melihat kekerasan dan diskriminasi terhadap LGBT terjadi di mana-mana, individu LGBT, bahkan tidak melakukan apa pun yang dituduhkan: menularkan, mengajak, membaiat, atau bahkan mengajak bunuh diri. Kita bisa melihat bagaimana kajian dibatalkan dengan alasan tidak berizin, dibubarkan paksa, dan bagaimana kampus diam tak bersuara saat kebebasan berpendapatnya diinjak-injak. Bahkan kampus tidak bicara sekeras itu tentang radikalisasi yang nyata menggerogoti sampai saat ini.

Penghukuman atas Tubuh dan Ekspresi Gender
Minimnya pengetahuan dan dibatasinya akses terhadap informasi seputar tubuh menyebabkan instansi-instansi yang buta mengenai gender mengambil ruang untuk mendikte identitas dan tubuh, serta menegaskan kembali peran gender yang kaku. Tubuh, yang lekat dengan diri, dijauhkan dari pemaknaan pribadi. Institusi menegaskan kuasanya melalui sensor, pembatasan akses dan pembakaran buku, yang dianggap sebagai panacea bagi semua masalah.

Penghukuman atas tubuh, pemerkosaan, dan pemaksaan identitas yang dilakukan oleh masyarakat terhadap yang liyan haruslah menjadi cambuk besar bagi Indonesia, bukannya diterima sebagai keadaan yang “sudah seharusnya”. Pada kelompok LGBT, ketimpangan ini adalah pil pahit yang harus ditelan setiap hari. Pil pahit pelanggaran hak dan kemanusiaan tersebut pula yang setiap hari dirayakan oleh media dan kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab.

Inklusivitas Gender
Di masa lalu, konsep laki-laki dan perempuan amat sederhana: laki-laki akan berburu makanan dan perempuan membesarkan anak. Sekarang, tidak ada garis yang jelas dan kaku untuk memisahkan keduanya. Pertukaran peran justru mampu menciptakan manusia yang adaptif dengan lingkungan sekitar yang terus berubah.

Gender bukanlah hal yang melekat dan terberi, dan beberapa individu harus melampaui proses perjalanan panjang untuk menemukan identitasnya, melampaui kromosom gen, tampilan fisik, dan apa yang dikenakan. Pelekatan gender pada hal-hal yang bersifat permukaan justru menyulitkan individu untuk beradaptasi dan dalam banyak kasus justru membatasi individu untuk menemukan kenyamanan dalam tubuhnya sendiri.

Majalah National Geographic mendedikasikan satu edisi khusus Januari 2017 dengan judul besar “Gender Revolution” yang berbicara mengenai pergeseran lanskap tentang gender. Hal yang paling menarik adalah bukan hanya bagaimana perkembangan sains membantu menjelaskan pergeseran lanskap dan pembebasan gender dari kutub laki-laki dan perempuan, namun juga memaparkan bahwa bahkan anak pada usia 9 tahun sudah mampu memahami bagaimana peran gender membentuk dirinya dalam perkembangan identitasnya.

Salah satu studi yang dilakukan oleh Fusion’s Massive Millenial Poll menunjukkan sesuatu yang menarik tentang cara generasi milenial melihat gender. Polling tersebut menunjukkan bahwa setengah dari mereka berpikir bahwa gender adalah spektrum dan beberapa orang berada di luar kategori yang konvensional.

Hal ini memungkinkan kemunculan ruang-ruang berekspresi yang lebih luas dan berupaya keluar dari kotak-kotak kaku gender yang selama ini dipahami. Karenanya, kita menemukan banyak ekspresi gender yang berbeda ditampilkan di laman media sosial, baik sebagai ekspresi maupun bentuk identitas diri yang fleksibel.

Contoh saja selebgram seperti Jovi Adhiguna (@joviadhiguna), Millendaru Prakasa (@millencyrus), Aaron Daffa (@aarondaffaa), yang memilih untuk mengekpresikan diri dengan tampilan feminine dan maskulin sekaligus, terlepas dari identitas gender dan orientasi seksualnya masing-masing. Atau pasangan Evelyn dan Aming yang mampu menunjukkan bagaimana gender dan seksualitas bersifat cair dan dapat saling dipertukarkan.

Terminologi baru muncul dan berupaya mengakomodasi spektrum melampaui definisi laki-laki atau perempuan seperti agender, bigender, transgender, two-spirit, intersex, genderqueer, nonbinary, androgynous, pangender, gender fluid, nonconforming, questioning, dan masih banyak lagi. Gender seharusnya bukanlah dua kutub yang saling bertentangan, seperti yang diutarakan Kinsey di bukunya Sexual Behavior in the Human Male:

The world is not to be divided into sheep and goats. Not all things are black nor all things white. It is a fundamental of taxonomy that nature rarely deals with discrete categories. Only the human mind invents categories and tries to force facts into separated pigeon-holes. The living world is a continuum in each and every one of its aspects. The sooner we learn this concerning human sexual behavior, the sooner we shall reach a sound understanding of the realities of sex. (Alfred Kinsey, 1948, p. 638-639)

Memahami identitas gender yang kompleks dan menantang dikotomi gender yang kaku justru membantu individu agar dapat merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Karenanya, pembahasan gender dan orientasi seksual seharusnya bukan lagi berada pada tataran dosa/tidak, menyimpang/tidak, atau sakit/tidak.

Pendekatan saintifik yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan, pemikiran dan penelitian terbarukan, serta diskusi lepas kiranya dapat mengisi ketertinggalan jauh dan tumpukan pekerjaan rumah besar mengenai pemahaman identitas, ekspresi gender, bahkan orientasi seksual.

Di tengah hiruk-pikuk pergantian tahun, saya berharap Anda memasukkan revolusi pemikiran sebagai salah satu prioritas resolusi tahun baru Anda.

PERTANYAAN SEPUTAR KEPERAWANAN DAN SELAPUT DARA

17333346_1253390748078621_2710705026174550016_n

Mari kita menjawab pertanyaan ‘apakah selaput dara adalah penentu keperawanan’. Apabila sebagian dari kalian menjawab iya, maka kalian juga pastilah mengharapkan darah berceraiburai seperti bah pada malam pertama, yang pada akhirnya dilanjutkan dengan pertanyaan ‘wajibkah darah perawan pada malam pertama’. Pikirkan seperti ini, semisalnya saja saat pertama kali kalian berhubungan seks dan darah dari jebolnya selaput dara tidak kunjung tiba, lalu siapa yang memperawani atau mengagahi kalian sebelum ini? Jin? Belum lagi ditambah drama-drama dangdut merasa dicurangi karena pasangan kalian tidak berdarah, bukankah justru seharusnya jangan sampai berdarah? kalian  melakukan malam pertama atau jadi jagal daging di pasar? Pertanyaan-pertanyaan sederhana akan membuka sedikit akal bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan ‘darah’ dan ‘perawan’ hanyalah bayangan mistis yang dipupuk tanpa pencerahan pengetahuan.

Keterbukaan informasi sepertinya tidak menjadi jaminan seseorang dapat mendalami analytical thinking  mengenai suatu isu yang sebenarnya selalu ada pada masyarakat, hal-hal sederhana seperti perbedaan selaput dara (red: hymen) dan keperawanan (virginity) yang sebenarnya hanya perlu keingintahuan dan sedikit ketikan singkat maka muncullah beberapa website resmi yang menjelaskan perihal ini. Dijelaskan dibanyak website resmi terkait dengan keperawanan, penyebab ‘pop’ atau ‘break’ hymen tidak hanya penetrasi dari hubungan seksual, tapi bisa jadi karena aktivitas, seperti berolahraga, cedera, pemeriksaan vagina, masturbasi, dan lain-lain.

Pada anak-anak dan remaja, selaput dara yang robek dapat pulih dengan cepat. Sementara pada orang dewasa, kondisi dan bentuknya sangat bervariasi, dan bahkan karena hymen tiap orang berbeda-beda, tidak jarang malah walaupun sudah pernah ada penetrasi, hymen tersebut terbentuk kembali. Ini menjadi bukti mutlak keunikan perempuan.

17333353_408842926142851_782859820939083776_n
lebih dekat dengan SGRC Indonesia dan tau lebih banyak tentang seksualitas, gender dan reproduksi dengan mengunjungi media sosial SGRC. Ketik dan cari: SGRCUI.

Pertanyaan lainnya adalah dan seringkali menjadi sedikit drama karena kontroversi  adalah mengenai perlukah tes keperawanan dilakukan? dan saya sangat yakin jika kalian mengatakan perlu, berarti alasan ‘moral’ menjadi pertimbangan kalian. Sayangnya alasan moral dan kehormatan untuk menjustifikasi praktek ‘tes keperawanan’ tersebut, bertentangan dengan HAM yang tercantum pada Pasal 7 UN-ICCPR (United Nation on International Covenant on Civil and Political Rights), yang telah diratifikasi Indonesia pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

“No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation”

Secara singkat dinytakan bahwa tidak ada seorang pun boleh disiksa atau diperlakuan atau dihukum dengan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan. Secara khusus, tidak seorangpun dapat diperlakukan demikian tanpa persetujuan bebas untuk eksperimen medis atau ilmiah, tes keperawanan dapat dikatakan suatu tindakan yang ‘merendahkan’ martabat, namun lagi-lagi pihak-pihak pelaku bisa jadi kembali berkelit dengan berkata: ‘tiap perempuan menyetujui untuk melakukan tes keperawanan’, mungkin memang benar adanya, akan tetapi kembali pada konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia yakni Pasal 16 UN-CAT  (United Nation on Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, lebih dikenal dengan the United Nations Convention against Torture), yang diratifikasi Indonesia pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.

Each State Party shall undertake to prevent in any territory under its jurisdiction other acts of cruel, inhuman or degrading treatment or punishment which do not amount to torture as defined in article I, when such acts are committed by or at the instigation of or with the consent or acquiescence of a public official or other person acting in an official capacity. In particular, the obligations contained in articles 10, 11, 12 and 13 shall apply with the substitution for references to torture of references to other forms of cruel, inhuman or degrading treatment or punishment.

Yaitu, setiap Negara Pihak harus mencegah perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan yang dilakukan oleh dan/atau atas hasutan maupun dengan persetujuan ataupun dengan ijin dari pejabat atau pihak lain yang bertindak dalam kapasitas resmi, dengan kata lain  tindakan dari pejabat atau pihak yang berwenang baik secara langsung maupun tidak langsung menghasut atau memberi izin untuk merendahkan suatu kelompok dengan eksperimen medis ataupun yang dikatakan ilmiah, tidak dapat dibenarkan, begitupula dengan tes keperawanan.

Apabila kalian masih bersikeras bahwa yang kalian lakukan sama sekali tidak salah ataupun merendahkan martabat seseorang, praktek tes keperawanan kepada perempuan melanggar asas non-diskriminasi pada mukadimah UN-CEDAW (United Nation on Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.

Noting that the Universal Declaration of Human Rights affirms the principle of the inadmissibility of discrimination and proclaims that all human beings are born free and equal in dignity and rights and that everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth therein, without distinction of any kind, including distinction based on sex.

Pada UN-ICCPR dan UN-CAT tertulis kata degrading yang akan selalu disandingkan dengan dignity yang merupakan kata sifat. Terbukti dari arti kata degrading adalah ‘to lower in dignity or estimation; bring into contempt’ dimana kata dignity terdapat pada mukadimah UN-CEDAW. Jadi tidak ada ‘merendahkan’ tanpa ‘merendahkan martabat’ seseorang atau suatu kelompok, yang dalam hal ini terkait dengan keperawanan. Jadi dapat disimpukan bahwa praktek tes keperawanan adalah tindakan yang merendahkan martabat perempuan, sehingga tidak ada moralitas yang bertujuan untuk merendahkan martabat mahluk hidup lainnya.

Pertanyaan selanjutnya ‘apakah keperawanan itu hadiah’, jawabannya bisa iya bisa tidak, tapi yang paling penting dan utama adalah kesiapan seseorang untuk melakukan hubungan seks dan adanya persetujuan (consent) sebelum melakukannya. Semakin perempuan siap, semakin nikmat hubungan seksual tersebut, otomatis jika perempuan berdarah saat malam pertama apakah menurutmu itu bentuk kesiapan? Ah atau bentuk kurangnya keahlian? Apapun itu tidak seharusnya penilaian akan kesucian perempuan diserahkan pada mata penghakiman orang lain, food for thought.

—————————————————————————————————————————————–

References:

UN-ICCPR (United Nation on International Covenant on Civil and Political Rights). Ratifikasi – Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. LN RI Tahun 2005 Nomor 119, TLN 4558.

UN-CAT  (United Nation on Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment). Ratifikasi – Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. LN RI Tahun 1998 Nomor 164, TLN Nomor 3783.

UN-CEDAW (United Nation on Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women). Ratifikasi – Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. LN RI Tahun 1984 Nomor 29, TLN Nomor 3277.

Alodokter, ‘Kaitan Antara Selaput Dara dan Keperawanan’, http://www.alodokter.com/kaitan-antara-selaput-dara-dan-keperawanan, diakses 16 Maret 2017.

Michael Castleman, PsychologyToday,All About Sex: The Hymen Membrane Widely Misunderstood’, 01 Maret 2011, https://www.psychologytoday.com/blog/all-about-sex/201103/the-hymen-membrane-widely-misunderstood, diakses 16 Maret 2017

Cristen Conger, HuffingtonPost, ‘Sex Myth Exposed: What They Dont Teach You About Hymen’, 20 Desember 2011, http://www.huffingtonpost.com/cristen-conger/sex-myth_b_1154683.html, diakses 16 Maret 2017

Sherria Ayuandini, TheConfersation, ‘Women Suffer the Myths of the Hymen and the Virginity Test’, 15 Desember 2014, http://theconversation.com/women-suffer-the-myths-of-the-hymen-and-the-virginity-test-35324, diakses 16 Maret 2017

BBCIndonesia, ‘Tren Sosial: Tes Keperawanan’, 9 Februari 2015, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150209_trensosial_tes_keperawanan, diakses 16 Maret 2017

Dictionary.com, http://www.dictionary.com/browse/degrading, diakses 16 Maret 2017, Diakses 16 Maret 2017


Author: Ris Carolina

Dear Viva.co.id, Lain Kali Kalau Melakukan Pembodohan Publik…

*Luna Siagian

Kepada

Yth. Dedy Priatmojo, Zahrul Darmawan, dan Jajaran Editorial viva.co.id

di tempat

Kalian tahu, kemarin siang mood saya yang awalnya terasa menyenangkan mendadak ambyar setelah seorang teman merusaknya dengan mengirimkan tautan berita sensasional rilisan tiga hari lalu di viva.co.id (selanjutnya akan saya sebut kalian secara kolektif sebagai viva.co.id):

Waspada, 5.791 Pria Gay di Depok Intai Toilet Umum!

Continue reading Dear Viva.co.id, Lain Kali Kalau Melakukan Pembodohan Publik…

Embracing Your Vulnerability for Love and Happiness

*Debbie R Saragih

download

No one likes to be vulnerable. Nobody really wants to show others that they are afraid of losing their best friends, that they hate their body for being fat. And absolutely no one wants the world to know that they’re suffering from any kind of mental illness. That is the very basic idea: no one wants to look weak. And neither do I.

Continue reading Embracing Your Vulnerability for Love and Happiness

Testimoni Ramuan Obat Kuat : What’s Behind its Greatness?

“Istri saya puas bahkan nyerah. Istri saya heran.”

“Suami jadi betah di rumah. Saya dipuji dan disayang suami.”

Viagra-Professional

*Ferena Debineva

Sounds familiar? Berikut adalah cuplikan testimoni mengenai obat kuat untuk penis yang dapat memperpanjang waktu ereksi dan menunda ejakulasi. Sedangkan testimoni yang kedua adalah dari obat yang di klaim dapat merapatkan kembali vagina dan membuatnya lebih keset, plus dengan tambahan denyut di dinding vagina.

Continue reading Testimoni Ramuan Obat Kuat : What’s Behind its Greatness?

Peran Gender dalam Keluarga Melalui Perspektif Kelas: Relevan atau Tidak?

traditional-gender-roles

*Arief Rahadian

Bagi beberapa orang, gambaran suami yang bekerja dan istri yang mengurus anak-anaknya di rumah merupakan hal yang biasa saja. Bahkan, gambaran tersebut mungkin menjadi semacam standar “keluarga sempurna” bagi mereka. Namun, orang juga bisa berpendapat bahwa gambaran tersebut melambangkan opresi terhadap perempuan. Pandangan bahwa perempuan “seharusnya” tinggal di rumah dan mengurus anak bisa dianggap sebagai upaya laki-laki untuk membatasi potensi perempuan.

Continue reading Peran Gender dalam Keluarga Melalui Perspektif Kelas: Relevan atau Tidak?

The Super Mom Myth or: How I have a Bone to Pick with the Wolf Children

19fzrgtjpt7tcjpg

Have you seen the movie Wolf Children? Yes? Oh, good. No? Pity, but let’s proceed anyway.

Several days ago, I had a pretty interesting conversation with my mom which got me thinking about the movie – and how it made me feel. It constantly bugged my mind ever since, prompting me to type this (hopefully coherent) word vomit.

Continue reading The Super Mom Myth or: How I have a Bone to Pick with the Wolf Children